Bubuk
Kopi Sang Kakek Pemarah
Karya
oleh Ifan Ahmad
Rindu menggelintir dari hati
terdalam menuju perdesaan yang penuh dengan kenangan. Kenangan secangkir kopi
Wamena, kopi terlezat yang lidahku sudah berdebu tidak menikmatinya. Seorang
pahlawan berjanggut putih yang lebih kurindukan daripada kopi yang ia suguhkan
waktu itu. Tanpa hadirnya kakek itu,
kecil kemungkinan untuk menjadi diriku yang sekarang. Pengalaman pahit yang
setelah kuhirup manisnya kopi Wamena itu membuatku mengerti arti sesungguhnya
kebaikan dalam diri seseorang.
Setibanya di kebun kopi milik
Sang Kakek, terkenang lagi pengalaman 10 tahun yang lalu itu. Saat itu aku
adalah anak manja yang berusia 15 tahun, bertamasya dengan kedua orang tua-ku
merupakan hal yang menjengkelkan ketika aku tahu bahwa aku dibohongi oleh kedua
orang tua ku yang sebelumnya memberitahu bahwa kami akan berlibur keluar
negeri, nyatanya hanya ke tempat terpencil.
“Mana seru kalau begini yang mama papa bilang liburan, gaada asik
asiknya.” Ketusku saat diperjalanan, Ayah sedikit menoleh kebelakang dan
tersenyum tulus, dan ibuku sedikit terlihat menyembunyikan kesedihan, namun
karena manjanya aku saat itu jangankan bertanya-tanya perdulipun tidak.
Sampai di suatu desa yang sangat
terpencil dekat hutan yang begitu terkesan tidak menyambut kedatanganku. Ayahku
memarkirkan mobil tua-nya, Ibu selalu memalingkan wajahnya dari pandanganku.
Lagi dan lagi akupun saat itu tidak begitu memperdulikannya. Kami mampir ke
warung kopi yang belakangnya kebun yang begitu subur,
“Itu kebun apa pa?” Tanyaku
keheranan.
“Kebun yang menjadi saksi dimana
seseorang pria gendut sepertimu menjadi gagah suatu hari nanti, kebun kopi
terlezat, milik sang kakek pemarah, Tuk Awun.” Tutur ayahku.
Bibirku mengerut tanda tak terima
dengan perkataan ayahku, “Setidaknya aku sehat dan bahagia.” Kesalku dalam
hati. Kami bertiga duduk di warung kopi tersebut, lalu seorang pria berkumis
tebal bernama Pak Soleh ini menawarkan kami makanan dan minuman hangat.
“Dimana kakek tua itu, leh?”
Sahut ayahku.
“Setidaknya kamu itu menyebut
namanya untuk menghormati dia, dasar kalong.” Jawab Pak Soleh sedikit tertawa.
Mereka berdua terlihat sangat
akrab, tapi aku begitu fokus bermain gameboy dan tidak begitu memperhatikan
percakapan mereka berdua. Namun ada yang ganjil saat Ayahku dan Pak Soleh
saling berbisik, lalu kutatap Pak Soleh dengan tatapan sinis dan Pak Soleh pun
menatap balik dengan tatapan seperti meremehkanku dan kemudian dia tertawa
terbahak-bahak bersama Ayahku.
Setelah menyantap lezat makanan
yang dibuat Pak Soleh itu, aku sedikit mengantuk dan meminta untuk istirahat,
Ayahku pun mengerti. Kami pun diantar ke sebuah kamar, fasilitas yang buruk dan
kasur yang sempit untuk kami bertiga menjadi keluhan lagi di hati seorang
remaja yang manja ini. Dengan lemas aku menggelar tubuhku pada kasur yang
sedikit keras, membuatku tidak bernafsu untuk tidur namun mata sudah memaksa
tubuh ini untuk istirahat sebentar. Tiga sampai lima jam aku terlelap,
dibangunkan oleh dinginnya gemercik hujan di malam hari. Dengan berat
kutegakkan badanku, menguap sesekali tanda ingin tidur lagi. Perutku bunyi,
sesaat rasa kantuk hilang berganti lapar. Bagai singa lapar, aku mengendus
setiap sudut tempat. Sampai di warung kopi tadi aku menemukan Pak Soleh yang tergulai
sedang mengorok.
“Pak, pak! Ada maleeng!” kuteriaki
telinga Pak Soleh.
“Dimana? Dimana!?” latah Pak
Soleh serentak keluar liur baunya menyembur wajahku.
“Di bungkus mie itu Pak, coba
dimasak dulu pasti nanti ada malingnya” jawabku bergurau sambil kesal.
“Dasar gendut, bapak lagi mimpi
bidadari malah kamu teriaki maling, kabur dah semua bidadari bapak” jawab Pak
Soleh sambil membenarkan peci merahnya.
Lalu Pak Soleh pun memasakkan mie
rebus dengan telur menu favorit restoran kampung elitnya itu. Setelah selesai
dimasaknya, Kusantap dengan rakus dan ceroboh, “Aw lidahku..” Keluhku kesakitan
karena kuah yang masih panas menyentuh lidahku. Pak Soleh tampak tertidur lagi,
aku pun merinding antara rasa takut dan dingin. Seberang jalan tampak berkabut,
dan tiba tiba terlihat bayangan berbentuk seseorang dengan tubuh kurus agak
membunguk dengan cangkul dipundaknya. Aku guncang-guncangkan tubuh Pak Soleh,
kuteriaki lagi seperti tadi. “Bodoamat dut” sahutnya sambil mengigau. Bayangan
itu semakin mendekat, semakin dekat semakin peluh keringat dinginku. “Leh..
leh..” suara itu terdengar sangat menyeramkan, badanku yang seperti kuda nil
pun berlari seperti kijang dengan rasa takut yang semakin membesar dan menuju
kamar yang layak disebut kandang itu. Kututup pintu dengan keras dan kukunci,
aku pun tidur dengan bantal mendekap di kepalaku. Tak terasa akupun tertidur
dengan tegang dari rasa dingin malam dan takut.
“Hei, bangun!” suara itu
terdengar lagi, untungnya kepalaku masih terdekap bantal. Dengan kasar bantal
itu direbut dariku. “Lu ini manusia apa kerbau!?” suara itu semakin terdengar
seperti amarah, lalu aku memberanikan untuk membuka mata. “Ternyata hanya
seorang kakek, hahahaha!” aku tertawa terbahak-bahak. “Aw sakit tau” kepalaku
dihantam jitakan kakek tua itu. “Sholat, kalo lu gamau sholat, lu gadapet jatah
makan hari ini” bentak kakek itu. Aku langsung kabur mencari orang tua ku,
tidak kutemukan batang hidungnya sekalipun. Aku menabrak Pak Soleh seraya
panik,
“Dimana mama papa, Pak?”
“Nih kamu baca sendiri suratnya”
jawab Pak Soleh sambil memberiku kertas.
“ Nak, mama dan papa pulang dulu ada urusan mendadak, kamu jaga diri baik-baik..
Turuti tuk Awun dan Pak Soleh. Jangan coba-coba kabur, mama dan papa
menjemputmu minggu depan.
Mama dan Papa ”
Setelah sholat subuh, aku mengurung
diri di kamar sambil menangis. Bukan karena ditinggal orang tuaku, tapi gameboy
kesayanganku juga dibawa. Aku terlelap dengan aliran bekas airmata dan
terbangun pada siang hari dengan setumpuk airliur yang tampak kering. Aku
terkejut pintu tua kandang ini di ketuk dengan sangat keras. “Woi udah siang
dasar kerbau!” saut suara kakek itu dari luar. Saat kubuka pintu itu dengan
kasar, kakek menyebalkan itu langsung menarik tanganku dan membawaku ke dalam
hutan yang lebat dengan motor tuanya.
“ Ini hukumanmu karena tidak
sopan sama orang tua” ketus kakek itu.
Lagi dan lagi aku menangis, lagi
dan lagi karena rindu gameboyku. Dilemparkannya sebuah korek gas kearahku dan
kakek itu lari dengan motor tuanya meninggalkanku, “Ah nanti juga kakek itu
tidak tega dan balik lagi” gumamku kesal dalam hati.
Detik berubah menjadi jam, siang
menjelang sore. Aku berjalan mencari jalan keluar karena kurasa hutan ini
sangat dekat dengan kebun kopi itu. Perut buncitku mengerang lapar, kulihat
sebuah pohon pisang namun ada selembar kertas menempel dengan tulisan yang
sangat rapih seperti diketik namun ada ciri bekas tintanya pada kertas tersebut
dan sangat malas kubaca, “Mana mungkin kampung kuno ini ada komputer” celetukku
sambil tertawa kecil. Namun saat kubaca kertas itu saat hendak mengambil
pisangnya bulu kuduk ini merindik dan kaki bergetar,
“ Ini adalah pohon yang tumbuh
bersama dengan kenangan suram perjuangan para pemuda zaman penjajahan. Darah
bukan air yang menyuburkan, jantung bukan biji yang menjadi sumbernya, dan rambut
dari jasad – jasad yang dikuburlah yang menjadi akarnya ”
Aku lari kucar – kacir menjerit
ketakutan, lelah langkahku terhenti dengan nafas yang berat. “Dimana lagi
ini!?” ketusku kesal. Tidak berselang beberapa lama, tercium aroma kopi yang
menarik hidung untuk mengikuti arah aroma itu. Aroma yang sangat nikmat,
membawaku kehadapan sebuah tebing yang lumayan tinggi. Kudaki dengan perlahan,
demi mengetahui siapa tahu ada seseorang yang bisa menuntun aku keluar dari
hutan ini. Sesampainya dipuncak tebing, tangan ini sangat lemah dan kakiku pun
terasa tidak seimbang. Mataku perlahan tertutup, namun tiba-tiba tanganku
digenggam kencang. Mataku terbuka kembali, kepalaku menegak keatas melihat
ternyata si kakek berjanggut itu. Dengan gerangan seorang kakek tua, menarik
keatas tangan menyelamatkan anak gendut yang manja ini.
Dengan lemas aku tergulai di
hamparan tanah. Waktu semakin larut sore, aku tak sadarkan diri dan terbangun
dengan kehangatan api unggun. Aku mendudukkan tubuhku, tiga buah pisang sudah
ada di depanku. Dengan lihai seperti kera, aku kuliti pisang-pisang tersebut
dan kulahap dengan rakus. Aku menoleh kedepan. Kakek pemarah itu termenung,
kuhampiri ia dan tangan kunonya itu meracik kopi harum itu.
“ Pahamilah bahwa alampun menolak
sifatmu yang manja, ini adalah medan tempurku bersama timku dulu. Pohon pisang
yang kamu temui itu adalah kuburan massal timku yang terjebak dan memilih untuk
disiksa lalu mati daripada mengorbankan informasi para pejuang Indonesia. Aku
melihat dengan mata kepalaku sendiri, setelah aku berhasil kabur aku megintip
disela-sela semak belukar, peluru menembus kepala yang wajahnya sangat marah
membara memperjuangkan kemerdekaan kita. Dimana letak rasa syukur mu, anak
muda?” ucapnya sambil menatapku dengan mata yang berkaca-kaca dan sesekali
mengalirkan air mata.
Aku tercengang dan bisu, kakek
bernama Tuk Awun itu yang pemarah tiba-tiba menjadi tenang dan sangat khusyuk
menikmati kehangatan dan kedinginan malam yang beradu di puncak tebing
tersebut. Seakan-akan hati menyalahkan sikapku selama ini yang manja. “Ini
minumlah, kopi inilah yang membuatku sanggup melewati hidup dengan kenangan
suram itu” ucap lembut Tuk Awun. Kuminum sedikit-sedikit, mataku terbuka lebar,
kagum dengan kelezatan kopi dari kebun yang dibicarakan ayahku sewaktu di
mobil. “Ayahmu dan Pak Soleh adalah yatim piatu semasa kecilnya, aku mendidik
mereka dengan didikan yang sangat keras. Entah bagaimana bisa ayahmu
memanjakanmu sedangkan dulu ia sangat aku miskinkan. Kami bertiga tumbuh
dihutan ini dan tidur di kebun itu. Kami bertiga yang merawat kebun itu, ayahmu
adalah seorang petualang, setiap malam berkelana mencari hal-hal yang ia
perlukan untuk esok. Sampai suatu saat ayahmu memutuskan untuk ikut akademi
militer, dan Soleh memutuskan untuk merawatku dan kebun kopi terlezat yang kami
tanam” ucap Tuk Awun dengan sorot wajah seperti buta.
Kami berdua berpetualang
menjelajahi hutan, sifat manjaku seketika hilang semenjak mengerti apa gunanya
kemerdekaan setelah susah payah diperjuangkan jika aku hanya menyia-nyiakan
waktu mudaku. Setelah seminggu kemudian yang tiada hari tanpa aktifitas
berolahraga, bobot berat badanku turun dengan sangat mengejutkan. Hasil dari
olahraga dan petualangan di hutan membuatku lupa akan makanan yang membuatku
manja dulu. Ibuku penuh rindu memeluk tubuhku yang masih bergemulai dan anehnya
aku menitikkan airmata karena aku mulai sadar, cinta dari seorang Ibu itu besar
namun selalu tertutup dengan keikhlasan senyuman dan kelembutan hati.
Kenangan yang sangat mengesankan,
kebiasaan di kampung ini lah yang menjadi kebiasaan dirumahku dan membuat tubuh
kerbauku menjadi gagah perkasa. Kerinduan terhadap kakek itu semakin tak
terbendung, kucari Pak Soleh di restoran kampungnya, namun yang kudapati
seorang pria yang lebih muda dariku. “Dimana Pak Soleh?” tanyaku. “Bapak sedang
belanja kak, ada keperluan apa kak?” balas tanya dari pria muda itu yang
ternyata anak Pak Soleh dengan penuh keluguan. Lalu kutelusuri tempat dulu aku
sempat menginap, langkahku terhenti di hadapan sebuah batu nisan bernamakan “Soemawun
Cipto”. Lututku bertumpu pada tanah dan rerumputan, rasa tak percaya dan rasa tak
ikhlas akan kerinduan yang tak ada obatnya. Beliau, sang kakek pemarah sudah
melepaskan semua ikatannya di dunia. Bibirku membiru saking patahnya
semangatku. Beliau, sang pejuang kemerdekaan yang semasa tuanya mendidik
anak-anak nakal sepertiku. Air mata deras menyebrangi hitamnya pipiku, dalam
hati penuh doa dan dalam jiwa penuh rindu. Ditepuknya pundakku, aku menoleh dan
kulihat seseorang yang memakai peci merah, Pak Soleh yang tampak menua, “Sudahlah
nak, relakan saja biar beliau tenang disana” ucap Pak Soleh mencoba
menenangkan.
Masih termenung mengenang sosok
Tuk Awun, Pak Soleh meracik sebuah kopi dari bubuk yang aromanya sangat kukenal.
Tapi aroma wangi kopi tersebut kalah dengan aroma bau badan khas Tuk Awun. Kuminum
perlahan, lagi-lagi air mata menetes dari mata yang biasa membidik sasaran
latihan di camp tempat ditugaskan. Karena pahlawan berjanggut putih itu, sang
kakek yang pemarah, pejuang yang menderita akan masa lalu yang suram, anak
manja menjadi perwira tangguh.
----
PROFIL PENULIS
Assalamualaikum wr. wb.
Nama saya Ifan Ahmad, lahir di
Jakarta, 15 Juni 2000. Hobi menggambar dan mengedit foto, menulis kadang –
kadang. Bercita-cita masuk surga. Kelas 11/2 SMK Islam PB. Soedirman 2
Cijantung. Motto Fii Sabilillah. Bertempat tinggal di Kampung Tengah, Jakarta
Timur.